21 Februari 2008 Refleksi Hari Bahasa Ibu Internasional

Hi guys, kalian tahu khan kalau tanggal 21 Februari adalah Hari Bahasa Ibu Internasional or International Mothers Day!!

Nah gimana sich ceritanya tgl 21 Februari diresmikan sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional (HBII. Simak ceritanya berikut ini!!

RA Kartini dalam suratnya kepada NvZ yang dimuat di Kolonial Weekblad edisi 25 Desember 1902 menekankan: ”...Sebagai ibu, dialah pendidik pertama umat manusia. Di pangkuannya, anak pertama-tama belajar merasa, berpikir dan berbicara...” (Dri Arbaningsih, 2005).
Maknanya, bahasa ibu memiliki kedudukan penting dan strategis, yaitu sebagai bahasa komunikasi antara ibu dan anak, yang kelak sangat menentukan bahasa anak. Tentu ada pula lingkungan sekitar seperti tempat tinggal, pendidikan, dan lain-lain.

Bahasa ibu mengandung banyak harapan dan pesan kepada si buah hati, yang tak hanya dilisankan tetapi juga melalui bahasa tubuh dan sikap keseharian. Tidak mengherankan, jika seorang ibu dalam kesehariannya membiasakan berkata dengan baik, sopan dan halus, maka anak-anaknya cenderung memiliki tutur kata yang teratur dan lemah lembut pula.

Sebaliknya, ibu yang seringkali menggunakan bahasa kasar dan kotor, maka anak-anaknya pun lebih mudah berkata keras dan kasar dengan menonjolkan emosinya. Seperti kata pepatah ”buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya”. Itu sebabnya, bahasa ibu bukan sekadar alat komunikasi serta hubungan antara ibu dan anak, melainkan lebih mencerminkan kedekatan emosional di antara keduanya.

Kaum ibu mesti menjadi pelopor dalam memberdayakan dan mengembangkan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu, melalui percakapan sehari-hari di dalam rumah. Sebab pendidikan dan pembentukan kepribadian manusia pertama kali diperoleh dari rumah.
Betapa penting rumah sebagai arena pembelajaran bisa dilihat dari nota Kartini kepada Rooseboorm: ”...Sekolah saja tidak cukup untuk membentuk pikiran dan perasaan manusia, rumah pun harus turut mendidik !” (Sulastin 1979:388).

Kalau ini dapat diaplikasikan dan dilakukan konsisten, tentu sangat bermanfaat untuk menumbuhkan kembali rasa cinta terhadap bahasa Sunda (dan bahasa daerah lainnya....) sebagai bahasa ibu. Sehingga mampu menekan potensi hilangnya bahasa ibu dari muka bumi. Di seluruh dunia kini terdapat sekitar 6.703 bahasa ibu, tetapi setiap tahun terjadi pelenyapan 6-10 bahasa ibu.

Lebih dari itu, bahasa ibu juga menjadi sarana pembentukan karakter sejak dini, yang berpengaruh kuat terhadap pembentukan karakter (character building) seseorang, bahkan sebagai wahana untuk menyingkap nilai-nilai spiritual bagi masyarakatnya

Dalam Ensiklopedi Indonesia Edisi Khusus, bahasa dimaknai sebagai sistem komunikasi sosial dalam mempertahankan tradisi yang diwariskan secara turun-temurun, dengan perubahannya yang berlangsung perlahan-lahan dan berangsur-angsur, baik kosa kata maupun tata bahasanya. Bahasa ibu juga bisa berubah karena masa.
Terasing di Daerah Sendiri.

Di Jawa Barat, kita mempunyai bahasa ibu yaitu bahasa Sunda sebagai bagian kekayaan nasional. Yang memprihatinkan, pemakaian bahasa Sunda sebagai bahasa ibu cenderung menurun, bahkan makin ditinggalkan. Sebaliknya banyak keluarga di Indonesia, tidak terkecuali di Jawa Barat serta terutama di daerah perkotaan, malah menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu.

Mestinya, bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa pengantar resmi di lembaga pendidikan, serta bahasa resmi dalam hubungan di tingkat nasional (baik untuk kepentingan pembangunan dan pemerintahan, serta pengembangan kebudayaan nasional dan iptek).

Bahasa Sunda cenderung menjadi bahasa kedua yang diperoleh anak, terutama saat anak memasuki dunia pendidikan. Akibatnya, pelajaran bahasa Sunda yang mestinya mudah justru menjadi sulit serta ”menakutkan” bagi anak. Lebih parah lagi, orang tua yang diharapkan mampu membantu anak dalam belajar bahasa Sunda, termasuk mengerjakan PR, juga tidak mengerti dan memahami. Ini lebih sering terjadi pada keluarga muda di perkotaan.

Dampaknya anak-anak merasa asing dengan bahasa Sunda, yang mestinya menjadi bahasa pertama yang dikenal dalam kehidupannya sebagai bahasa ibu. Dalam skala lebih luas, bahasa Sunda menjadi ”bahasa asing” bagi anak dan terasing di daerahnya sendiri.
Untuk membumikan kembali, diperlukan pembudayaan dan pembiasaan rutin, terpadu, dan berkesinambungan. Sebab pembelajaran bahasa yang efektif adalah dengan menggunakannya dalam berkomunikasi secara terus-menerus.

Mengenai cara melatih kefasihan berbahasa, RA Kartini dalam nota kepada Idenburg menulis: ”Alat terbaik untuk belajar bahasa adalah sebanyak-banyaknya berpikir dan berbicara dalam bahasa itu. Tetapi hendaknya janganlah hal itu menyebabkan bahasa sendiri diabaikan; bahasa itu sendiri harus dipelajari sebaik-baiknya...” (Sulastin 1979:372-3 dalam Dri Arbaningsih, 2005).

DALAM kongres di Paris (2000), UNESCO menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional (HBII). Ketika membicarakan bahasa ibu, maka hal terpenting yang perlu direnungkan adalah peran ibu dalam memberikan pendidikan kepada anak-anaknya, yang mau tidak mau menggunakan bahasa tertentu sebagai alat komunikasi.

Hal tersebut mengandung makna agar bahasa Sunda (dan bahasa daerah lainnya....) sebagai bahasa daerah dan bahasa ibu di Jawa Barat tidak ditinggalkan begitu saja. Ia mesti dijaga kelestariannya dan dipertahankan keberadaannya. Caranya antara lain dengan mengenalkan bahasa Sunda (dan bahasa daerah lainnya....) kepada anak sejak dini, bahkan sejak dalam kandungan, dilanjutkan dengan pembudayaan dan pembiasaan dalam kehidupan keluarga.

Itu sebabnya, berbagai upaya untuk membudayakan kembali penggunaan bahasa Sunda sebagai alat komunikasi sehari-hari, dan sejajar dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, sangat perlu dilakukan di berbagai lingkungan. Bukan hanya dalam keluarga, namun juga dalam kemasyarakatan, pendidikan, dan perkantoran.

Perlu dipahami, pengenalan bahasa Sunda bukan untuk menumbuhkan ego kedaerahan, tetapi upaya untuk menanamkan sikap saling menghormati dan menghargai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Perlu keseimbangan bagi anak dalam mengenal bahasa Sunda dan bahasa Indonesia, sehingga mereka punya wawasan tentang keterkaitan antara budaya nasional dan bahasa daerah.

Hal ini selaras dengan Perubahan Keempat UUD 1945 (Bab XIII-Pendidikan dan Kebudayaan, pasal 32 ayat 2): ”Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional”. Dalam Penjelasan UUD 1945 Pasal 36 disebutkan, di daerah-daerah yang memiliki bahasa sendiri yang dipelihara rakyatnya dengan baik (misalnya bahasa Jawa, Sunda, Madura, dan lain-lain), bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara juga oleh negara. Bahasa-bahasa itu merupakan bagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup.

Tidak ada komentar: